Mengemas Hati, Merenda Waktu

Dengarkanlah permintaan hati

yang teraniaya sepi……

dan berikanlah hati pada hidupku….

yang terhempas….

yang terlepas…..

pelukanmu…..

bersamamu..

aku hilang selalu

Potongan syair “permintaan hati”-nya Noe “Letto” nampaknya mengena banget. Telah mengena dibagian terdalam dari sang hati. Tapi kok ya pengaturan “Sang Pemilik Hati” sangat pas dan terasa beratnya. Hmmm…hidup, betapa sangat sukar ditebak atau dihitung dengan kalimat matematika. Tapi juga kadang sangat mudah hanya ditelaah oleh anak TK.

Beberapa malam ini aku merasakan hal itu. Ditengah upaya untuk mengembalikan sebagian rindu ini pada Empunya, ternyata beberapa tekanan batin menggebrak cukup keras. Gubrackh…. sebagian dinding hati mengalami lecet. Cukup pedih saat tertindas basahan air hujan.

Beberapa malam ini aku telah disadarkan untuk disandarkan pada suatu kuasa hati. Dahagaku ini berharap akan menemukan penebalan dan penguatan hati dalam penghambaan dan pengabdian. Tapi itu masih belum menyentuh angka separuh waktu. Dan tetap berharap akan finish pada urutan terbaik. Bukan terdepan….

Baiklah, aku akan terus menyelami beberapa pandangan mata hati. Agar aku terlatih melihat betapa besar kuasa-Mu. Kuasa untuk membimbing. Kuasa untuk memimpin. Dan kuasa menentukan arah gerak jantung dan pikiranku ini.

Tapi juga beberapa malam ini aku dilibatkan pada persoalan hati yang melawan rindu. Bahkan mimpi itu telah coba kukaburkan. Yach..namanya juga memaksa hati. Otomatis tak mampu terlacak secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Akhirnya, tetap saja ridu ini bergelantungan didasar hingga memenuhi puncak hati. weleh…weleh….

Kutegaskan dan kujelaskan. Bahwa, takkan ada yang mengusik kerinduanku pada sang pangeranku. Meski hidupku berada pada sebuah kalimat akhir. Karena sang pangeran kecilku tidak untuk dicemburui. Karena sang pangeranku tidak untuk dibenci, apa lagi dicaci maki.

“Tapi sang pengeran kecilku untuk digandeng dengan bahasa hati, dengan getaran jiwa. Dituntun dengan segenap raga menuju pengabdiannya”.

Berada dalam sebuah ruang sedikit konyol


Ku Tak Sempat Melihat Hujan

Selasa, 19 Januari 2010. Setelah mengabadikan beberapa rangkaian cerita dimalam sebelumnya, aku terlelap hingga paruh waktu. Uchhh…rasanya mataku cukup pekat untuk sekedar melihat alam dengan segenap suka citanya. Sementara tugas harianku mengantar  “sang pangeran” pergi ke sekolah terkendala.

Ketika suara kecil itu menyelinap diantara kelelepanku diatas kasur tua, aku seolah tak memperdulikan. Bukan tak perduli, tapi karena ketidakkuasaanku untuk menyadarkan diri. Bahkan hujan pagi yang disertai angin dan petirpun  tak sempat kulihat. Yachhh..akhirnya aku harus menyelesaikan hingga semua kondisi jiwa ragaku menyatu. Akupun telah terbangun.

Pada malam sebelumnya, aku telah menghabiskan waktu bersama beberapa teman. Banyak hal yang telah kubahas, mulai rencana membangun beberapa konsep masa depan hingga menyiasati perut agar tak terlihat kendur. Hingga akhirnya, waktu tengah malam berada diujung pagi. Kami kembali pada dunia masing-masing dengan membawa segenggam rencana untuk segera direalisasikan keesokan harinya. Tepatnya hari ini.

Untuk menebus kelengahan atas tugas bagi  “sang pangeran”, siang ini aku harus memberikan waktuku hingga beberapa jam kemudian. “Sang pangeran” sebelum berangkat sekolah meminta diajak melihat “rumah hantu” di Jalan Kemakmuran, Samarinda, tepatnya di halaman sekretariat KNPI Kota Samarinda.

Setelah melihat pameran “rumah hantu” aku telah tawarkan untuk menyaksikan lanjutan  pertandingan ISL antara Persisam Putra vs Persib Bandung di Stadion Segiri Samarinda. Aku yakin, permata hatiku akan senang. Semoga ini akan menjadi kado indah bagi perkembangan hati dan cintanya. Kepada sang alam dan kepada sang pemilik alam.

Hemmm….ada semacam tekad kecil yang kusuarakan dalam benakku  untuk memperbaiki beberapa waktu yang menjadi hak “sang pangeran”. Rasanya cukup memilukan melihat dia berjalan dengan kaki kecilnya menyusuri jalan untuk sampai ke sekolah. Tak tega juga melihat  dia pamit dan meninggalkan aku yang seakan tak menghiraukan dirinya. Bahkan, untuk menghormati  sang ayah diapun rela tak meminta uang jajan.

Aku mencoba mendaur ulang beberapa hal yang terjadi malam hingga hari ini. Aku sedikit memiliki kesimpulan. ku memiliki kebanggaan atas kejadian ini. Ternyata “sang pangeran” memiliki hati. Hati untuk menghormati tanggung jawabnya sebagai siswa. dan hati untuk menghormati ayahnya.  “Anakku, aku bangga padamu. Kepekaanmu akan menempati ruang khusus di hatiku”.

Meratakan hati dengan rerumputan

Merambah Batas Angan

Minggu, 17 Januari 2010. Hari yang cukup melelahkan. Dimana aku dan “Pangeran kecilku” melawat sebuah kota tua di Wilayah Kaltim. Tepatnya, Kota Raja Tenggarong. Yach…dari beberapa tahun lalu hingga kini tak banyak yang berubah. Bangunannya, jalanannya dan tempat wisatanya, Waduk, Masjid tertua, Musium kayu,Musium Kerathon hingga Pulau Kumala-nya.

Perjalanan diawali pukul08.30 pagi. Setelah sang pangeran merasa siap jiwa raganya, kami menyusuri sepanjang jalan Kota Samarinda dan jalanan ke Tenggarong. Di sepanjang jalan, banyak yang diceritakan. Sang pangeran ngoceh  soal sekolah dan teman-teman bermainnya. Itu yang membuat aku selalu tersenyum.

Hemmmm….ternyata pangeranku cukup piawai membuat hatiku “CERAH”. Secerah mataku ketika melihat matamu, bibir mungilmu dan tingkahmu yang mengundang tanganku untuk selalu ingin membelaimu. Dan seakan matamu MENGHAMPAR di sepanjang jalan Samarinda-Tenggarong. “Ayah, itu apa yah” begitu tanyanya ketika melihat sesuatu yang menurutnya baru.

Waduk “Panji Suka Rame”.  Di sini sang pangeran mengajak main perahu “bebek”. Berkeliling  mengayunkan perahu kecil sambil terus bercanda dan ceria. Nampak sekali Utha-ku menikmati alam yang terhampar hijau dan banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Merasa cukup bermain air, aku dan sang pangeran menyusuri beberapa bukit kecil yang ditumbuhi aneka bunga dan bambu. Kami-pun menikmati santapan makan siang di sini.

Musium Kayu, kami menuju di musium yang letaknya sekitar 500 meter dari Waduk “Panji Suka Rame”. Di Musium ini kami melihat 2 ekor buaya yang cukup besar yang diawetkan. Kami telusuri beberapa sudut ruang yang agak pengab dan banyak debu ini. Disini juga dipamerkan berbagai jenis kayu asli Kalimantan dan rumah-rumah adat.

Tiba waktunya menunaikan shalat dhuhur. Kami menuju masjid tertua di Tenggarong. Dengan sesekali sang pangeran merengek minta segera menuju Musium Kerathon. Kebetulan masjid dan Musium Kerathon berdampingan. Tiba saatnya, menyusuri  Kerathon kebanggaan warga Tenggarong. Tapi kami tak masuk ke dalamnya. Utha lebih tertarik melihati makam Sultan Parikesit dan berkeliling menikmati berbagai cindera mata dan manik-manik khas Tenggarong.

“Utha mau kalung yang itu nah, Yah…”. Begitu sang pangeran minta dibelikan kalung dari batu khas kutai itu. Kalungpun melingkari leher permata hatiku. “Yah, haus. Kita minum es kelapa muda ya,” rengeknya lagi sambil menggoyang-goyang tangan kiriku.

Pulau Kumala. Sangat kaget aku setiba di pulau kecil ini. Begitu sepi, lengang. tak ada pengunjung “babar blas”. Para penjaga-pun hanya beberapa orang. Beberapa arena permainan yang 5  tahun terakhir menjadi “primadona” anak, kini nampak berantakan dan tak terawat. Sangat disayangkan.

Begitulah aku dan buah hati yang ingin “Merambah Batas Angan”. Menepikan beberapa aktivitas yang cukup menyita waktuku bersama Utha. Tapi, aku telah menebusnya. Aku telah membuat memori di hati sang pangeran begitu indah, begitu bermakna. Yach…setidaknya aku telah menyampaikan pesan padanya bahwa “ayah selalu mencintaimu, nak. Sampai akhir hidupku”.

"Sang Pangeran" sedang asik dengan beberapa mainannya

Detik Yang Tak Kupercayai

Sampai detik ini aku masih merasa kau milikku. Beberapa pesan lembut masih juga terasa disini. Yah, disini, di hatiku. Bahkan beberapa menit lalu. Tapi beberapa kejadian telah melenyapkan asa itu.  Aku sebenarnya tak hanyut sama sekali atas kemarahanmu itu. Aku tetap bertahan bahwa kau masih tak merubah hati.

Sampai detik ini aku masih tak percaya akan sikap yang kau tunjukkan padaku. Hingga akupun bertanya dalam hati ” apakah ini bentuk manjamu, bentuk kelembutanmu atau bentuk akan besarnya rindumu”. Entahlah, sekarang semakin kabur rasanya. Apalagi ancaman untuk menutup telepon ternyata kau lakukan juga. Asli aku kaget banget. Kagetku, membuyarkan beberapa lamunan indahku.

Sampai detik ini aku merasa kembali sendiri. Sendiri untuk meniti beberapa persoalan hati lagi. Beberapa bulan terakhir ini aku banyak memiliki senyum. Banyak memiliki tawa dan waktu malamku juga banyak tersita untuk mendenggar tawamu, manjamu hingga rengekan dari bibirmu. Jujur, itu membuatku bahagia.

Ach…aku akan kembali pulang ke rumah dulu. Aku harus melihat “permata hati-ku”. Aku akan menimang “pangeran kecil-ku”. Aku yakin dia memiliki cinta dan sayang yang sangat tulus padaku. Yach..aku yakin Utha akan memberikan semua itu tanpa ada nilainya. Nilai salah paham, nilai cemburu dan nilai menutup telepon seketika. Karena Utha adalah “sang anakku”. Karena adalah penghiburku.

Dalam hati kecilku, aku teringat akan mamaku-bapakku. Dulu, beberapa tahun lalu, ketika aku mengalami kepenatan hati dan keresahan jiwa, mereka yang mampu meredakan. Hingga hatiku terasa sejuk dan seakan aku tak terbebani semua kepenatan dan keresahan. Tapi kini harus kuatasi sendiri. Meski kadang aku harus sedikit tertatih-tatih.

Alangkah baiknya aku  “nyekar” ke makam mama-bapakku sejenak. Aku yakin ada beberapa persoalan hati yang akan terselesaikan. Termasuk keresahan dan kepenatan ini. Agar aku tak merasa kehilanganmu, kekasih. Agar kemarahamu tak kudengar lagi, kekasih. Seperti yang kurasa saat ini.

Aku harus kembali ke jalurku. Kembali kesebuah permainan yang stabil, apa adanya dan menikmati gaya permainanku sendiri. Aku tak akan memaksa siapapun untuk larut dalam permainanku. Tapi aku juga rasanya ga mudah untuk hanyut dalam permainan siapapun.

Tuhan, Engkau adalah titik terakhir dalam setiap perdebatan hati. Engkau yang memulai dan Engkau pula yang mengakhiri. Semua terjadi akan berada dalam genggamanMu. Aku pasrahkan semua hidup atas kehidupan hanya padaMu. Karena aku untuk Engkau.

Pintaku, rendahkan hatiku, hilangkan rasaku, hapuslah kesombonganku dan buanglah semua kemarahanku. Jadikan aku hamba yang mampu menyerahkan jiwa dan raga hanya atas kehendakMu. Ridhoi dan ampuni aku dalam setiap langkahku. Amin

Menjaga Kebugaran

Kusisipkan Rinduku

Perjalananku beberapa malam ini. Telah membawaku kesebuah kawasan aneh. Kawasan yang mengajak selalu BERFIKIR dan bermunajat. Yah, malamku telah tersita untuk sebuah MAKNA dalam hidup. Makna dalam kematian. Dan disini semua bermula.

Walau aku (jujur) merasa jemu. Tapi itulah malamku bersama kebersamaan. Suatu malam dimana aku diangkat kedalam HAYALAN yang NYATA. Aku sadar, aku tahu, mesti aku tak mampu. Namun aku tetap mengikutimu. Dan aku tak mau menghentikan langkahku.

Suara hati ini tak kupungkiri lagi. Aku sangat memerlukan diriMu. kehadiranMu. Tak hanya sekadar se-detik. Tapi tuk selamanya. Hingga semua menjadi nyata keberadaanku tepat dipelukanMu. Plis…aku tak akan hayalkan wajahMu. Tapi aku akan nyatakan Kau tak jauh. Kau selalu melihatku.

Kadang aku juga terhenyak. Kaget dan hanya bisa “MELONGO” saja. Melihat  dan memutar balik perjalanan diri. Begitu banyak yang menyimpang. Begitu mudah Kau kulupakan. Itu yang membuat diri semakin menepi. Membuat diri semakin tak kuasa meraih mimpi.

Kini, dalam perjalanan malam itu. Aku tau jalan kembali ke rumahMu. Aku harus lalui jalan itu. Seandainya harus menyusuri halang rintang disepanjang jalan. Karena jalan itu belum dilalui. Hingga belum punya kesimpulan apapun. Tapi pastinya, dijalani  langkah ini satu persatu.

Kusemakin yakin. Akan semua yang menjadi kehendak atas alam.  Akan semua menjadi ketentuan akan hidup. Yang seharusnya diterima dengan tebaran SENYUM. Dengan membusungkan dada. Aku akan meraih itu. Aku akan meraihnya.

Berada di sebuah kawasan wisata di Bontang, Kaltim

Namamu, Tak Pernah Kusebut……..

Mama….sebuah nama. Sebuah kata “lazim” enak dan paling populer di hatiku. Hanik Muyasyaroh namanya. Wanita mulia yang sangat ikhlas mengandungku dan melahirkan atas nama HATI. Seorang wanita berasal dari kasta jelata, namun hatinya sangat JELITA. Dari tangannya masa depanku, dan dialah pengukir JIWA & RAGAKU.

Namamu tidak pernah kusebut, ma. Meski dalam hari-hariku. Meski dalam perjalanan HIDUP  & MATIKU. Meski dalam setiap do’a dan harapanku. Tapi wajahmu ada di sini (di hatiku). Tapi, tangan lembutmu, tatapan matamu, kasih yang kau salurkan lewat detak jantungmu….membawaku hingga akhir waktu. Membawaku dalam setiap indera ditubuhku.

Senin, 21 Desember 2003, Mama…. kau telah meninggalkan aku, bersama Sri Alwiniyah dan Lisfin Muawiyah, kakakku. Kau pergi dalam PENGABDIAN. Kau pergi setelah dua kali lebaran menahan  “ujian” kanker rahim dari Dzat Penguasa Jagad. Diakhir hembusan nafas ikhlasmu, kau berada dalam pelukanku. Saat detik-detik  nafasmu kau ada dipangkuanku. Menyayat….tapi kau tetap mengulum SENYUM khasmu.

Percayalah, ma….aku ikhlas walau hati teriris. Aku pasrah walau sayatannya perih banget. Namun begitu, aku tetaplah merasa sendiri. Merasa sepi. Tanpa sentuhan tangan SURGAWIMU. Tanpa tatapan RINDUMU. Dan tanpa omelan-omelan kecilmu disetiap kesalahanku. ” Le, jangan tinggalkan 5 waktu lho, ” begitu pesan yang sampai detik ini masih terngiang.

Ma….dalam sendiriku, dalam sepiku…ternyata aku TEMUKAN dirimu. Aku temukan arti senyummu, menemukan arti sentuhanmu, menemukan arti omelan-omelan kecilmu itu. Aku relakan mewarisi perjuanganmu. Aku niatkan mewarisi darah sucimu yang kau tanam dengan mengorbankan hidup dan kebahagiaanmu. ” Tak gawekke kopi yo le,” itu bahasa khas mama setiap  menyambut aku datang.

Aku selalu ke PUSARAMU, ma. Disana bersanding romantis  dan mesra dengan pusara Bapak. Ya, bapakku, Ilham Mudjadi. Lelaki perkasa yang periang dan selalu memberikan arti CINTA & PENGABDIAN. Aku selalu hadir dalam setiap do’a-do’aku ma..hanya untuk mama…hanya untuk bapak  dan hanya untuk mereka. Aku selalu dan selalu minta restumu dalam setiap pengambilan  KEPUTUSANKU.

Ilahi….. Engkaulah dzat yang membolak-balikkan atas semua hidup dan kehidupan ini. Atas nama cinta mama & bapakku. Atas kesetiaannya mengabdi padaMU. Atas kerelaannya mengemban amanahMU. Ampuni orang tuaku, makhlukMU dalam hidup dan matinya. Ridhoi mereka dalam setiap penghambaannya. Tempatkan orang tua hamba dalam kasih sayangMU.

Robbighfirli Waliwaalidai’yya Warkhamhuma Kama Robbayaani Saghiira“. Amin yaa Allah…..